ANTCO. Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Pembahasan Hadist arbain k-1

Pembahasan Hadist arbain k-1


Ketaatan Ibnu Umar Mengikuti Sunnah
Dari lbnu Sirrin katanya, “Suatu ketika aku bersama Ibnu Umar ra. di Arafah. Ketika ia pulang, aku pulang bersamanya sehingga kami menjumpai imam maka ia shalat Dzuhur dan Ashar bersama kami, Kemudian ia wukuf bersamaku dan kawan-kawanku sampai imam turun ke kota Mekkah dan kami pun ikut turun ke Mekkah bersamanya, ketika kami sampai di lorong Ma’jamani maka ia turun dari untanya dan kami pun melakukan hal yang sama sehingga kami mengira kalau ia akan mengerjakan shalat. Kata pelayannya yang senantiasa memegang kendali untanya bahwa sesungguhnya ia (Ibnu Umar ra.) bukan akan mengerjakan shalat akan tetapi ia ingat pada Nabi Saw. ketika beliau lewat di tempat ini beliau sempat buang hajat dan ia pun ingin buang hajat semata-mata meniru apa telah dilakukan oleh beliau Saw.” (Ahmad, At-Targhib.1/47).
Dikabarkan bahwa lbnu Umar ra. pernah mendatangi sebuah pohon yang ada di antara Mekkah dan Madinah. Kemudian ia beristirahat di bawahnya dan ia berkata bahwasannya ia melakukan hal itu dikarenakan Rasulullah Saw. telah melakukannya.” (Bazzar.Al-Haitsann.1/175,At-Targhib.1/46).
Dari Nafi’ bahwasannya lbnu Umar ra. senantiasa mengikuti jejak Rasulullan Saw. sampai pun setiap tempat yang pernah Rasuluilah Saw. shalat di tempat itu ia selalu mengikuti beliau Saw. Sehingga di suatu pohon yang Rasulullah Saw. pernah berteduh di bawahnya dan ia selalu menyirami pohonan tersebut agar tidak mati maka ibnu Umar ra. pun tidak ketinggalan mengikutinya” (Ibnu Katsir Kanzul Ummal. 7/59).
Dari Mujahid katanya. “Pernah kami berpergian bersama lbnu Umar ra. Ketika tiba di suatu tempat. maka ia menggoyang ke kiri dan ke kanan. Ketika aku tanyakan. “Mengapa engkau berbuat demikian?” Ibnu Umar ra. menjawab. “Aku melihat Rasulullah SAW pernah melakukannya seperti itu di sini, maka aku menirunya (Ahmad,Bazzar,At-Targhib,1/46).
Dari Nafi bahwa Ibnu Umar ra. pernah berpergian, ketika di jalan menuju kota Mekkah ia menundukkan kepala kendarannya seraya berkata, “Andaikan telapak kaki untaku dapat menginjak bekas telapak kaki unta Rasulullah Saw.” (Abu Nuaib Al-Hilyah).
Dari Nafi’ katanya, “Jikalau engkau melihat apa saja yang dilakukan oleh Ibnu Umar ra. dalam mengikuti sunah Nabi SAW, pasti engkau akan mengatakan. “Orang ini gila”. (AbuNuaim,Al-Hakim,3/561)
Dari ‘Aisyah ra. katanya. “Tidak ada seorang pun yang senantiasa mengikuti perilaku Nabi SAW”. seperti yang dilakukan oleh lbnu Umar ra.”
Dari Asim Al-Ahwal dari seorang sahabat katanya, Tidak seorang pun yang melihat kelakuan Ibnu Umar ra. kecuali ia akan mengira bahwa apa yang dilakukanoleh Ibnu Umar adalah yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW. (Ibnu Nu’aim dalam bukunya 1/30, Ibnu Sa’ad dalam bukunya 1/107).
Hadit Arbain ke-1
Diriwayatkan oleh Umar bin al-Khattab r.a: Rasulullah s.a.w bersabda: Sesungguhnya setiap amalan itu bergantung kepada niat. Dan setiap orang itu akan mendapat sesuatu sesuai dengan niatnya. Barang siapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka Hijrahnya itu karena Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa yang berhijrah untuk mendapatkan dunia dia akan mendapatkannya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya maka Hijrahnya itu mengikut apa yang diniatkannya
Niat bukan bersumber dari lisan berupa ucapan.akan tetapi niat  bersumber dari desakan rasa yang terbesit dalam hati yang kemudian diterjemahkan oleh lisan kita. Jadi niat adalah suatu amalan yang tidak tampak,niat adalah amalan yang ada dalam hati kita
Dalam hadits ini Rosulullah Salallahu Alaihi Wa Salam menegaskan bahwa standar yang menjadi timbangan amal disisi Allah bukanlah bentuk lahiriyah yang ada dalam diri manusia saja tapi yang terutama adalah berupa bisikan spirit dari relung hati kita.Dan Ingatlah, Allah Maha mengetahui segala sesuatu hatta itu berupa lintasan-lintasan hati kita yang sangat halus sekalipun.
Allah hanya menilai amalan kita sebagai pahala jika amalan itu hanya diniatkan dan diperuntukkan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja.Jadi barang siapa yang hijrahnya itu kepada Allah dan Rosul-Nya,maka kita akan mendapat pahala dan balasan yang baik. Namun jika hijrahnya hanya untuk harta yang diinginkannya,atau dunia agar bisa diperolehnya,maka ia akan mendapatkan dunia dan memilikinya.Begitu pula jika kita mengejar kedudukan maka kita akan mendapatkan kedudukan itu.Akan tetapi kita harus sadar bahwa saat kita mati nanti kita hanya akan dibekali oleh selembar kain kafan yang kita tidak bisa memilihnya sendiri, dan hijrah kita itu tidak akan bermanfaat.Kita akan tinggalkan dunia dengan penuh kehinaan, kefakiran, kerendahan dan kelak akan disiksa karena amal kita yang buruk dan tidak diperuntukkan bagi Allah.
Hadits di atas diriwayatkan oleh:

1. Bukhari, Kitab Bad'ul Wahyu no. 1, dalam Kitabul Iman no. 54, ada beberapa tempat dalam Shahih-nya, seperti kitab Al-'Itq, dan lainnya (Fat-hul Bari, I/9, 135).
2. Muslim, Kitabul Imarah, Bab Innamal A'malu bin Niyyat, no. 1907.
3. Abu Dawud dalam Sunan-nya, Kitabut Thalaq, Bab Fi Ma 'Uniya Bihi at Thalaq wan Niyat, no. 2201.
4. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya, Kitab Fadha-ilul Jihad, Bab Man Ja'a fi Man Yuqatilu Riya'an Wa liddunya, no. 1647.
5. An Nasa-i dalam Sunan-nya, Kitab Ath-Thaharah, Bab An-Niyyah fil Wudhu' (I/59-60).
6. Ibnu Majah dalam Sunan-nya, Kitab Az-Zuhd, Bab An-Niyyah, no. 4227.
7. Ahmad di dalam Musnad-nya (I/25, 43).
8. Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa, no. 64.
9. Baihaqi dalam Sunan-nya (IV/235), Bab Man Ughniya 'Alaihi fi Ayyam min Syahri Ramadhan.

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Daruquthni (I/136), Ibnu Khuzaimah (1/232 no. 455), Ibnu Hibban (at Ta'liqatul Hisan 'Ala Shahih Ibni Hibban, no. 389) dan yang lainnya.

Ibnu Rajab Al-Hanbali (wafat tahun 795 H) mengatakan: "Hadits ini (adalah) hadits fard (gharib), hanya diriwayatkan oleh Yahya bin Sa'id al-Anshari dari Muhammad bin Ibrahim at-Taimi dari 'Alqamah bin Abi Waqqas al-Laitsi dari Umar bin Khaththab. Tidak Ada jalan lain yang shahih selain jalan ini, menurut pendapat Ali Ibnul Madini dan lainnya."

Imam Al-Khaththabi berkata: "Aku tidak mengetahui adanya khilaf di kalangan ahli hadits tentang masalah itu. Meskipun ada riwayat dari jalan Abu Sa'id al-Khudri dan lainnya, akan tetapi tidak satupun yang shahih menurut para huffazh (imam-imam ahli hadits)." (Jami'ul 'Uluum Wal Hikam, I/60 dan Iqazhul Himam, hlm. 28).

Imam Bazzar berkata, "Abu As-Sakan, Muhammad bin I'tab, Ibnul Jauzi dan selain mereka mengatakan, bahwa tidak ada satu pun hadits yang sah (tentang hadits innamal a'malu bin niyat) dari seorang sahabat, melainkan dari Umar bin Khaththab saja." (At-Talkhisul Habir, 1/92, Cet. I Muassassah Qurthubah, Th. 1416 H).

Jadi pendapat jumhur ahli hadits menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits ahad, tidak mencapai derajat mutawatir, meskipun yang meriwayatkan dari Yahya bin Sa'id Al Anshari banyak sekali, karena dari sahabat Umar bin Khaththab sampai kepada Yahya bin Sa'id hanya terdapat satu jalan.

Asbabul Wurud Hadits

Tentang asbabul wurud hadits (sebab datangnya hadits) diriwayatkan, ada seorang wanita bernama Ummu Qais sudah dilamar oleh seseorang, dan dia tidak mau dinikahi sampai calon suaminya hijrah. Lalu ia hijrah dan kami menamakan orang tersebut dengan muhajir Ummu Qais. Kisah ini banyak ditulis dalam beberapa kitab, akan tetapi tidak ada asalnya yang shahih. Wallahu'allam. (Jami'ul Ulum Wal Hikam, I/24 dan Iqazhul Himam, hlm. 37).

Kata Ibnu Hajar Al-Asqalani: "...Tetapi tidak ada riwayat yang shahih yang menjelaskan hadits innamal a'malu sebabnya karena itu (karena Ummu Qais). Aku tidak melihat sedikitpun dari jalan-jalan hadits yang jelas tentang masalah itu." (Fat-hul Bari, I/10).

Syaikh Salim bin 'Id Al-Hilali membenarkan perkataan Ibnu Rajab, bahwa kisah asbabul wurud hadits di atas tidak benar. (Iqazhul Himam Al-Muntaqa Fi Jami'il Ulum Wal Hikam, hlm. 37).

Kedudukan Hadits

Banyak perkataan ulama tentang hadits ini, di antaranya:

* Imam Nawawi berkata, "Kaum muslimin telah ijma' (sepakat) tentang tingginya hadits ini dan sangat banyak manfaatnya."
* Imam Syafi'i berkata, "Hadits ini merupakan sepertiga ilmu dan masuk dalam tujuh puluh bab masalah fiqh." (Syarah Shahih Muslim, XIII/53).
* Imam Abdurrahman bin Mahdi (wafat th. 198 H) berkata, "Hadits tentang niat masuk dalam tiga puluh bab masalah ilmu." (Tuhfatul Ahwadzi, V/286). Kata beliau juga: "Selayaknya bagi orang yang menyusun satu kitab, hendaknya dimulai dengan hadits ini untuk mengingatkan para penuntut ilmu agar meluruskan dan memperbaiki niatnya." (Syarah Muslim, XIII/53; Jami'ul Ulum Wal Hikam, I/61). Imam Bukhari pun memulai kitabnya dengan hadits ini.
* Abu Abdillah mengatakan, "Tidak ada satupun hadits yang paling mencakup berbagai masalah dan paling banyak manfaatnya, melainkan hadits ini." (Tuhfatul Ahwadzi V/286).
* Abdurrahman bin Mahdi, Syafi'i, Ahmad bin Hanbal, Ali Ibnu Madini, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Daruquthni, dan Hamzah Al-Kinani, semuanya bersepakat bahwa hadits ini adalah sepertiga ilmu. (Fat-hul Bari, I/11). Yang dimaksud dengan sepertiga ilmu ialah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa pokok-pokok Islam datang dari tiga hadits, yaitu:
1. Hadits Umar: إنَّمَا اْلأعْمَالُ بِالِنّيَاتِ
2. Hadits 'Aisyah: مَنْ أَحْدَثَ فيِ أَ مْرِنَا هَذَا
3. Hadits Nu'man bin Basyir : إِنَّ الحَلاَلَ بَيِّنٌ وَ إِنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ (Iqazhul Himam, hlm. 29).
* Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Makna yang ditunjukkan hadits ini merupakan pokok penting dari prinsip-prinsip agama, bahkan merupakan pokok dari setiap amal." (Majmu' Fatawa, XVIII/249). Sebagian ulama berpendapat, pokok-pokok agama terdapat dalam empat hadits dikarenakan melihat urgensi dari hadits-hadits tersebut.
* Imam Syaukani berkata, "Hadits ini mempunyai faidah yang sangat banyak, dan tidak cukup untuk saya jelaskan di sini. Meskipun hadits ini gharib, namun layak ditulis (dibahas) dalam satu kitab tersendiri." (Nailul Authar, I/159).

Makna Hadits

إِ نَّمَا الأَعْمَالُ
(innama) susunan seperti ini menunjukan pengertian hashr الحَصْرُ pembatasan, yang diartikan dengan "hanya", maka hashr ialah, menetapkan hukum yang disebutkan dan menafikan yang selainnya. (Qawaa-id wa Fawaa-id minal Arba'in an-Nawawiyah, hal. 25).

الأَعْمَالُ

artinya, “amal-amal”. Kata jamak dari yang diawali dengan alif lam ال , yang menunjukkan arti istighraq yang berarti seluruh amal. Yang dimaksud adalah amal-amal syar'i yang membutuhkan niat. Adapun yang tidak, seperti kebiasaan makan, minum, berpakaian dan yang lainnya, atau seperti mengembalikan amanah dan tanggung jawab, atau menghilangkan najis, maka, tidak membutuhkan niat. Akan tetapi ada ganjarannya bagi yang berniat untuk taqarrub kepada Allah. (Ibid, hal. 26, Iqadhul Himam al-Muntaqa min Jami'il 'Uluum wal Hikaam, hal. 30-31).

Jadi maknanya, setiap amal harus ada niat dan tidak ada amal tanpa niat. (Nailul Authar 1/157). Bisa juga إنَّمَا اْلأعْمَالُ بِالِنّيَاتِ diartikan bahwa amal itu menjadi baik, buruk, diterima, ditolak, diganjar atau tidak, itu tergantung dari niatnya. Artinya, baik dan buruknya amal tergantung niat. (Iqadhul Himam, hal. 31).

النِّيَاتُ

jamak dari نِيَّةٌ . Dalam bahasa diartikan القَصْدُ (tujuan), yaitu hati menyengaja secara sadar terhadap apa yang dituju (dimaksud) mengerjakannya.

نَوَى - يَنْوِيْ نِيَّةً وَ هُوَ عَزْمُ القَلْبِ عَلَى أَمْرٍ مِنَ الأَُمُوْرِ

(Kehendak hati untuk mengerjakan suatu perkara). (Lisanul 'Arab libni Manzhur 14/343, cet. Daar Ihya at Turats Al 'Arabi, Mu'jamul Wasith 2/965).

Al-Baidhawi berkata, "Niat adalah dorongan hati yang dilihat sesuai dengan suatu tujuan, berupa mendatangkan manfaat atau mendatangkan mudharat dari sisi kondisi atau tempat. (Fat-hul Baari 1/13). Ada yang berpendapat, niat adalah, menuju sesuatu yang dibarengi dengan mengerjakannya." (Bahjatun Nazhirin 1/31 dan Syarah Hadits Arba'in oleh Imam Nawawi hal. 17).

إِنَّماَ لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى… :

Sesungguhnya setiap orang akan memperoleh dari Allah sesuai dengan apa yang diniatkan. Jika berniat baik, maka ia akan memperoleh kebaikan. Dan jika berniat jelek, maka ia akan memperoleh balasan kejelekan pula. (Bahjatun Nazhirin 1/31 dan Syarah Hadits Arba'in oleh Imam Nawawi hal. 17).

فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ وَ مَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

"Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Da barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang akan diperoleh atau wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya menurut apa yang ia hijrah kepadanya."

Ibnu Rajab Al-Hanbali mengatakan, “Tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan bahwa amal-amal tergantung dengan niat, dan seseorang akan mendapatkan sesuatu tergantung dari niatnya, baik atau buruk; dua kalimat ini merupakan dua kaidah yang mencakup dan merupakan contoh perbuatan yang bentuknya sama, akan tetapi berbeda hasilnya. Rusaknya amal itu tergantung dari niat. Ada orang yang hijrah ke negeri Islam, karena harta dunia atau karena wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya menurut niatnya. Yang pertama adalah tajir (pedagang), dan yang kedua adalah khathib (peminang). Keduanya bukan muhajir (orang yang berhijrah) yang sebenarnya.” (Iqazhul Himam hal. 36-37).

إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ :

Menurut apa yang ia hijrah kepadanya. Hal ini menunjukkan jelek dan hinanya orang yang hijrah karena harta dan wanita. (Iqazhul Himam hal. 36-37).

اَلْهِِجْرَةُ .

Asal maknanya ialah تَرَكَ الشَّيْءَ , yaitu meninggalkan sesuatu. Sedangkan menurut istilah syar'i ialah,

هِجْرَانُ بلَدِ الشِّرْكِ وَ الإِنْتِقَالُ مِنْهُ إِلَى دَارِ الإِسْلاَمِ

(Pindah dari negeri kafir ke negeri Islam).

Oleh para ulama, hijrah ini dibagi menjadi beberapa bagian. Hijrah tetap berlaku selama musuh masih diperangi, sebagaimana taubat masih diterima sampai matahari terbit dari barat.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ حَتَّى تَنْقَطِعَ التَّوْبَةُ وَلاَ تَنْقَطِعُ التَّوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

Tidak akan terhapus hijrah sampai tidak ada lagi taubat yang diterima, dan tidaklah berhenti taubat itu diterima sampai matahari terbit dari barat. (HR. Ahmad, IV/99; Abu Dawud, no. 2479 dan Ad Darimi, II/239-240 dari sahabat Mu'awiyah z, shahih)

Penjelasan Hadits

Tidak diragukan lagi, niat itu merupakan neraca bagi sahnya suatu perbuatan. Niat merupakan kehendak yang pasti, sekalipun tidak disertai dengan amal. Maka dari itu, kadang-kadang kehendak ini merupakan niat yang baik lagi terpuji, dan kadang merupakan niat yang buruk lagi tercela. Hal ini tergantung dari apa yang diniatkan, dan juga tergantung kepada pendorong dan pemicunya; Apakah untuk dunia ataukah untuk akhirat? Apakah untuk mencari keridhaan Allah, ataukah untuk mencari keridhaan manusia? Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

ثُمَّ يُبْعَثُوْنَ عَلَى نِيَّاتِهِمْ

Kemudian mereka dibangkitkan menurut niat mereka... (HR. Ibnu Majah, no. 4229 dan Ahmad, II/392)

Karena peranan niat dalam mengarahkan amal menentukan bentuk dan bobotnya, maka para ulama menyimpulkan banyak kaidah fiqh yang diambil dari hadits ini, yang merupakan kaidah yang luas. Diantara kaidah itu ialah:

َاْلأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا

(suatu perkara tergantung dari tujuan niatnya).

Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Buku Tamu
Terima Kasih Sudah Mengunjungi Blog Kami, Silahkan Meninggalkan Pesan
  • Tulis Nama mu dengan lengkap
  • Tulis Asal Sekolah mu dan kelas berapa?
  • Tulis nama Akunmu satu saja
  • Berikan Alasanmu, pada pesan diatas

World News

Trending Topic

Post Fida Collection

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

  © Blogger template The Professional Template II by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP